Langit punya sendi-sendi kaku yang rapuh. Ia sedang lelah tampaknya, karena keringatnya bercucuran kemudian diseka matahari. Birunya hanya bias, karena aku melihat kantung mata abu-abunya berarak.
Pasti nanti langit berkeringat lagi...
Tadi aku menatap langit, duduk di atas hitam yang berteman merah bergaris putih. Menyedot si manis berwarna biru sampai tinggal setetes, menyuap seporsi roti isi daging sampai kenyang sang perut. Kemudian sok pintar mencoba menyelesaikan teka-teki yang disusun sang empunya televisi cetak.
Aku ingin menjadi kantung mata langit yang berarak bebas. Bebas menjadi diriku sendiri tanpa ada caci.
Tapi, kata orang, jika ingin kuat...kamu harus makan caci banyak-banyak.
Aku ingin menjadi kantung mata langit yang bisa menggantung ringan di atas. Seperti tanpa beban.
Takdir menjadi manusia itu kadang menyeruput bahagia di atas duka atau merasa duka dikelilingi bahagia. Berputar seperti itu saja.
Takdir menjadi manusia itu kadang mencicipi cinta atau disayat cinta. Dicintai dan balas mencinta, dicinta tapi balas melukai, atau mencinta tapi dilukai.
Ah, langit. Aku bicara tentang cinta, padahal tak menahu apa-apa.
Kalau aku menyukai seseorang tanpa peduli bagaimana tampak luarnya, tapi aku menyukainya karena apa yang ada dalam dirinya. Itu masih belum disebut cinta, kan, langit?
Jatuh cinta itu menyenangkan, seandainya kamu hidup langit, kamu akan merasakan euforia jantung yang berdebar-debar itu. Bahkan saat jatuh cinta, senyummu akan berbeda.
Cinta itu definisinya bukan sekadar x = y. Lebih kompleks, langit. Bahkan para ahli tidak dapat menguraikan partikel-partikelnya satu demi satu. Makanya, saat ini aku tidak siap untuk jatuh cinta.
Karena sebelum jatuh cinta dengan tuan-entah-siapa-dimana, aku harus belajar untuk jatuh cinta pada diriku sendiri.
Aku ingin menjadi kantung mata langit yang dekat dengan bulan.
Aku bicara tentang mimpi. Aku ingin menggapai satu mimpi, tapi aku tidak bisa memulainya, langit.
Ingin mencoba berbagai macam jalanan setapak, kemudian jalanan menanjak, kemudian turunan licin. Aku terlalu malu dan terlalu ragu.
Banyak kepala berujar bahwa aku mampu. Tapi semangatku lagi bermain petak umpet dan menyuruhku menghitung sampai seribu. Dengan apa aku memaksanya keluar, langit?
Satu lagi, langit. Aku punya keluarga dalam tanda petik. Bilangnya akan ada, tapi sekarang tiada. Aku yang tembus pandang atau kami bukan lagi senyawa?
Karena terkadang aku mencari, aku merindu, aku memaki. Tapi sendiri.
November, 2013