menemukan sebuah naskah lama yang dulu tidak berani dipublikasikan, (takut dibilang galau asrama terus) :p
Koper#1
Keputusanku masuk ke sekolah ini awalnya aku anggap
salah. Ingin rasanya aku berbalik arah, pulang ke rumah dan melanjutkan
hidupku yang indah. Namun ada yang menahanku. Mungkin inilah yang
disebut rasa ingin tahu manusia--yang konon sangat besar. Pikiran
memerintahku bertahan, melanjutkan langkah-langkah awal ini.
Langkah-langkah penuh tanda tanya, langkah-langkah menuju dunia aneh
yang jauh dari riuh dan bersahabat dengan sunyi. Kemudian nantinya akan
"terkekang" bagai ternak dalam kandang. Berada dalam belenggu dimana
dering bel menjadi penanda segala proses yang ada.
Sebuah
fase yang dinamakan "orientasi" ini dijalani dengan rasa
polos,takut,cemas,minder dan malu. Fase dimana aku dan mereka masih
merasa asing dan sendiri. Mungkin hanya dipersatukan dengan melodi dan
permainan, namun itu belum mengubah statusku dan mereka menjadi teman.
Begitu
fase ini berlanjut, makin terlihatlah bahwa semuanya itu terkotak-kotak
dan penuh rasa persaingan. Semua ingin menjadi yang teratas, menjadi
pusat perhatian, menjadi pimpinan. Berlomba mencari bukti eksistensi
tanpa saling peduli.
Namun fase itu berganti ketika rasa
jenuh dan lelah menghampiri. Mulutku dan mulut mereka saling memaki
rutinitas yang tak kunjung henti. Jauh dari sumber informasi dan media
komunikasi membuat aku dan mereka mengatakan kalimat "Aku kangen rumah!"
dan "Aku ingin pulang!" berkali-kali. Petikan dawai gitar bukannya
menghibur diri, melainkan membuat air mata mengalir di pipi.
Saat
itulah aku dan mereka saling menyemangati, saling mendukung agar tidak
berhenti. Ini adalah sebuah fase berharga dimana aku dan mereka saling
memahami, saling mengerti dan saling menghargai. Fase dimana bentuk
terkotak-kota itu menjadi bentuk utuh yang abadi--lingkaran.
Namun
tentu saja masih ada yang tidak mampu menahan diri. Tertekan akan
rutinitas dan terbelenggu dalam "penjara", tersiksa akan penyakit dan
kehilangan jati diri dijadikan alasan mereka untuk pergi. Hal ini
membuat kami semakin ketat mengawasi agar jangan sampai ada yang
mengundurkan diri. Tetapi kami tak bisa mencegah adanya eliminasi yang
ternyata merampas banyak dari kami.
aku tidak hanya
membawa koper berisi barang-barangku ke rumah, namun juga berisi
pertanyaan lagi: "Apa yang akan terjadi ketika kami kembali nanti?"
Koper #2
Fase
ini adalah fase paling menyenangkan yang pernah kami alami. Fase yang
diawali dengan status kami sebagai keluarga--setidaknya begitulah kami
menyebut diri--dan juga status kami sebagai kedua yang teratas. Saat
inilah kami mulai berani menunjukkan identitas kami. Menjalani rutinitas
tanpa beban seakan-akan kekuasaan ada di tangan.
Disinilah
saat dimana kami menemukan jati diri, bahkan menemukan tempat dimana
masing-masing bisa saling berbagi. Tidak ada lagi tangis, yang ada hanya
tawa. Tidak ada lagi muram, yang ada hanya canda. Melodi yang
mengiringi kami juga bukan melodi pilu penanda rindu, tapi melodi ceria
yang membuat kami berdansa mengganti waktu yang seharusnya untuk kami
belajar. Tak ada lagi malam-malam melelahkan berkutat dengan diktat
karena tak ada lagi perlombaan menjadi yang terpintar. Kami tidur lebih
awal dengan senyum melebar.
kami bebas, lepas bahagia.
Bersatu dalam euphoria yang sama. Bangga akan setiap perbuatan hingga
aturan bukan lagi halangan. Hal ini membuat kami diincar dan
dipersalahkan, bahkan ketika kami hanya menentang kejanggalan. Meski
satu dari kami harus pergi karena tidak tahan, kami hanya bisa
merelakan. Kami anggap itu hanya keputusan dari sebuah keadaan.
Detik-detik
menuju eliminasilah yang menyadarkan kami bahwa kami terjerumus
kesenangan. Beberapa dari kami harus tereksekusi dengan alasan abstrak
yang membuat kami tersentak dan berontak. Ketika si pembuat keputusan
berkata "tidak", kami tidak bisa mengelak. Euphoria kesenangan ini
seakan hanya sekejap berganti pahit getir luka meratapi perpisahan.
Saat
mengepak barang ke dalam koper untuk dibawa pulang, dalam pikiranku
terdapat tanda tanya lagi: "Apa kami tetap akan sama seperti dulu?"
Koper #3
Kami
kembali--berbeda memang, lebih sunyi lebih sepi lebih mati. Tapi kami
tetap harus melanjutkan langkah-langkah kami di tempat ini. Fase
terakhir dimana kami akan menghadapi medan pertempuran yang
sesungguhnya.
menapaki hari-hari yang makin lama makin
terasa berat, dimana angka hasil kerja keras menjadi prioritas. Laju
waktu seakan mengingatkan kami bahwa saatnya makin dekat. Para pengawas
terus mengingatkan kami agar mengalahkan rasa malas.
Malam-malam
kami dihiasi dengan aroma santapan instan, minuman hangat dan buku-buku
yang berserakan. Terkadang bila sudah benar-benar diujung penat kami
saling menitip pesan untuk dibangunkan agar dapat melanjutkan menghapal
isi diktat.
Agenda kami dipenuhi dengan rutinitas, bahkan
menentukan waktu memanjakan diri pun tidak sempat. Kami memanfaatkan
segala teknologi dan permainan yang menjadi penghibur kami diwaktu
rekreasi kami yang sempit, dan kemudian kembali lagi menghadapi
saat-saat rumit.
Terbatasnya waktu membuat kami sering
terjaring konflik, karena banyak acara istimewa yang harus diikuti tanpa
bisa diseleksi. Label "terakhir" terus menghantui, menjadikan kami
menuntut diri. Tak jarang kami berteriak dan memaki karena tak menemukan
solusi.
kami juga menyadari waktu kami disini makin
singkat dan akan tamat. Memunculkan satu kata dalam benak: Perpisahan.
Maka dari itu kami berusaha keras agar sisa dari kami dapat keluar dari
tempat ini dengan utuh meski penat. Agar ketika kami berpisah tidak
hanya diiringi dengan tangisan namun juga senyuman. Usaha kami sempat
terhenti, karena satu dari kami harus pergi akibat kesalahan yang tdk
bisa ditoleransi.
Melanjutkan sisa usaha kami untuk saling
bertahan, masing-masing saling menyemangati agar tidak menyerah dan
pasrah di tengah jalan. Tidak sia-sia memang, kami dapat keluar dengan
utuh. Maka demikian fase ini berakhir dengan "sampai jumpa", "maaf" dan
"terimakasih" dalam tangis dan tawa, dalam senyum dan air mata.
Sebenarnya belum berakhir,
Karena
kami pasti akan bertemu lagi. Mungkin ketika kami sudah memiliki upah
hasil keringat sendiri. Mungkin ketika kami sudah menggandeng si kecil
buah hati. Mungkin ketika rambut kami sudah mulai memutih. Mungkin
ketika kami hanya memiliki sedikit memori...tapi kami pasti kembali,
untuk merangkai memori dinamis dalam nostalgia manis.
Ketika
memandang gerbang kokoh lambang institusi yang disebut asrama bersama
koperku hari itu, aku berkata dalam hati: "Aku tidak sendiri, mereka
ada, mereka nyata. Selalu hidup dalam hati. Selalu. Selamanya,"
Kemudian aku berjalan, pulang. Mempersiapkan diri menjalani fase baru lagi.
Wednesday, July 17, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment