Wednesday, July 17, 2013

0

A Very Old Story: Suitcase

menemukan sebuah naskah lama yang dulu tidak berani dipublikasikan, (takut dibilang galau asrama terus) :p

Koper#1
Keputusanku masuk ke sekolah ini awalnya aku anggap salah. Ingin rasanya aku berbalik arah, pulang ke rumah dan melanjutkan hidupku yang indah. Namun ada yang menahanku. Mungkin inilah yang disebut rasa ingin tahu manusia--yang konon sangat besar. Pikiran memerintahku bertahan, melanjutkan langkah-langkah awal ini. Langkah-langkah penuh tanda tanya, langkah-langkah menuju dunia aneh yang jauh dari riuh dan bersahabat dengan sunyi. Kemudian nantinya akan "terkekang" bagai ternak dalam kandang. Berada dalam belenggu dimana dering bel menjadi penanda segala proses yang ada.

Sebuah fase yang dinamakan "orientasi" ini dijalani dengan rasa polos,takut,cemas,minder dan malu. Fase dimana aku dan mereka masih merasa asing dan sendiri. Mungkin hanya dipersatukan dengan melodi dan permainan, namun itu belum mengubah statusku dan mereka menjadi teman.

Begitu fase ini berlanjut, makin terlihatlah bahwa semuanya itu terkotak-kotak dan penuh rasa persaingan. Semua ingin menjadi yang teratas, menjadi pusat perhatian, menjadi pimpinan. Berlomba mencari bukti eksistensi tanpa saling peduli.

Namun fase itu berganti ketika rasa jenuh dan lelah menghampiri. Mulutku dan mulut mereka saling memaki rutinitas yang tak kunjung henti. Jauh dari sumber informasi dan media komunikasi membuat aku dan mereka mengatakan kalimat "Aku kangen rumah!" dan "Aku ingin pulang!" berkali-kali. Petikan dawai gitar bukannya menghibur diri, melainkan membuat air mata mengalir di pipi.

Saat itulah aku dan mereka saling menyemangati, saling mendukung agar tidak berhenti. Ini adalah sebuah fase berharga dimana aku dan mereka saling memahami, saling mengerti dan saling menghargai. Fase dimana bentuk terkotak-kota itu menjadi bentuk utuh yang abadi--lingkaran.

Namun tentu saja masih ada yang tidak mampu menahan diri. Tertekan akan rutinitas dan terbelenggu dalam "penjara", tersiksa akan penyakit dan kehilangan jati diri dijadikan alasan mereka untuk pergi. Hal ini membuat kami semakin ketat mengawasi agar jangan sampai ada yang mengundurkan diri. Tetapi kami tak bisa mencegah adanya eliminasi yang ternyata merampas banyak dari kami.

aku tidak hanya membawa koper berisi barang-barangku ke rumah, namun juga berisi pertanyaan lagi: "Apa yang akan terjadi ketika kami kembali nanti?"

Koper #2

Fase ini adalah fase paling menyenangkan yang pernah kami alami. Fase yang diawali dengan status kami sebagai keluarga--setidaknya  begitulah kami menyebut diri--dan juga status kami sebagai kedua yang teratas. Saat inilah kami mulai berani menunjukkan identitas kami. Menjalani rutinitas tanpa beban seakan-akan kekuasaan ada di tangan.

Disinilah saat dimana kami menemukan jati diri, bahkan menemukan tempat dimana masing-masing bisa saling berbagi. Tidak ada lagi tangis, yang ada hanya tawa. Tidak ada lagi muram, yang ada hanya canda. Melodi yang mengiringi kami juga bukan melodi pilu penanda rindu, tapi melodi ceria yang membuat kami berdansa mengganti waktu yang seharusnya untuk kami belajar. Tak ada lagi malam-malam melelahkan berkutat dengan diktat karena tak ada lagi perlombaan menjadi yang terpintar. Kami tidur lebih awal dengan senyum melebar.

kami bebas, lepas bahagia. Bersatu dalam euphoria yang sama. Bangga akan setiap perbuatan hingga aturan bukan lagi halangan. Hal ini membuat kami diincar dan dipersalahkan, bahkan ketika kami hanya menentang kejanggalan. Meski satu dari kami harus pergi karena tidak tahan, kami hanya bisa merelakan. Kami anggap itu hanya keputusan dari sebuah keadaan.

Detik-detik menuju eliminasilah yang menyadarkan kami bahwa kami terjerumus kesenangan. Beberapa dari kami harus tereksekusi dengan alasan abstrak yang membuat kami tersentak dan berontak. Ketika si pembuat keputusan berkata "tidak", kami tidak bisa mengelak. Euphoria kesenangan ini seakan hanya sekejap berganti pahit getir luka meratapi perpisahan.

Saat mengepak barang ke dalam koper untuk dibawa pulang, dalam pikiranku terdapat tanda tanya lagi: "Apa kami tetap akan sama seperti dulu?"

Koper #3

Kami kembali--berbeda memang, lebih sunyi lebih sepi lebih mati. Tapi kami tetap harus melanjutkan langkah-langkah kami di tempat ini. Fase terakhir dimana kami akan menghadapi medan  pertempuran yang sesungguhnya.

menapaki hari-hari yang makin lama makin terasa berat, dimana angka hasil kerja keras menjadi prioritas. Laju waktu seakan mengingatkan kami bahwa saatnya makin dekat. Para pengawas terus mengingatkan kami agar mengalahkan rasa malas.

Malam-malam kami dihiasi dengan aroma santapan instan, minuman hangat dan buku-buku yang berserakan. Terkadang bila sudah benar-benar diujung penat kami saling menitip pesan untuk dibangunkan agar dapat melanjutkan menghapal isi diktat.

Agenda kami dipenuhi dengan rutinitas, bahkan menentukan waktu memanjakan diri pun tidak sempat. Kami memanfaatkan segala teknologi dan permainan yang menjadi penghibur kami diwaktu rekreasi kami yang sempit, dan kemudian kembali lagi menghadapi saat-saat rumit.

Terbatasnya waktu membuat kami sering terjaring konflik, karena banyak acara istimewa yang harus diikuti tanpa bisa diseleksi. Label "terakhir" terus menghantui, menjadikan kami menuntut diri. Tak jarang kami berteriak dan memaki karena tak menemukan solusi.

kami juga menyadari waktu kami disini makin singkat dan akan tamat. Memunculkan satu kata dalam benak: Perpisahan. Maka dari itu kami berusaha keras agar sisa dari kami dapat keluar dari tempat ini dengan utuh meski penat. Agar ketika kami berpisah tidak hanya diiringi dengan tangisan namun juga senyuman. Usaha kami sempat terhenti, karena satu dari kami harus pergi akibat kesalahan yang tdk bisa ditoleransi.

Melanjutkan sisa usaha kami untuk saling bertahan, masing-masing saling menyemangati agar tidak menyerah dan pasrah di tengah jalan. Tidak sia-sia memang, kami dapat keluar dengan utuh. Maka demikian fase ini berakhir dengan "sampai jumpa", "maaf" dan "terimakasih" dalam tangis dan tawa, dalam senyum dan air mata.

Sebenarnya belum berakhir,

Karena kami pasti akan bertemu lagi. Mungkin ketika kami sudah memiliki upah hasil keringat sendiri. Mungkin ketika kami sudah menggandeng si kecil buah hati. Mungkin ketika rambut kami sudah mulai memutih. Mungkin ketika kami hanya memiliki sedikit memori...tapi kami pasti kembali, untuk merangkai memori dinamis dalam nostalgia manis.

Ketika memandang gerbang kokoh lambang institusi yang disebut asrama bersama koperku hari itu, aku berkata dalam hati: "Aku tidak sendiri, mereka ada, mereka nyata. Selalu hidup dalam hati. Selalu. Selamanya,"
Kemudian aku berjalan, pulang. Mempersiapkan diri menjalani fase baru lagi.

0 comments: