Thursday, August 29, 2013

0

Flash Fiction: Kenangan

Diana mengangkut sebuah baki berisikan dua cangkir teh Earl Grey yang masih hangat, berikut juga tekonya. Senja itu, Diana kedatangan seorang tamu istimewa, Gladys, teman masa kecilnya yang hampir berpuluh-puluh tahun tidak bersua.

Atap rumah Diana yang datar menjadi tempat reuni yang cocok bagi mereka berdua, diterangi sinar mentari senja yang khas: oranye semburat merah. Sinar itu seperti menyalakan tombol nostalgia masa kecil mereka, dimana dulu saat senja seperti ini, mereka masih bermain petak umpet di belakang rumah.

"Di, ingatkah kamu? betapa kita bahagianya kita saat itu? Saling mencari satu sama lain, berpikir keras dimana teman-teman bersembunyi, dan selalu...si Gembul yang gembul itu yang pertama ditemukan," kata Gladys sambil tertawa kecil.

Diana tertawa, "Dan aku yang paling susah ditemukan," katanya. Diana menghirup tehnya, "Ingat tidak? ketika kita sama-sama menyusun karet gelang untuk main lompat tali? kemudian si Gembul datang untuk memamerkan tamiyanya yang terbaru, lalu kita asik main tamiya sampai kita baru sadar bahwa karet gelang kita sudah raib"

"Iya, anjingku yang mengambilnya, untung dia tidak tersedak karet," Gladys tersenyum, "Aku juga ingat ketika kamu terjerembab ketika bermain gala asin," 

"Ah itu memalukan," Diana meminum tehnya, "Banyak sekali permainan yang kita lakukan dulu: main engklek, dakon, bekel, bersepeda bersama keliling desa, main sepak bola, nonton kartun bareng di hari Minggu, hal-hal yang tidak bisa kita lakukan lagi saat ini," 

"Masa kecil memang menyenangkan, yang aku khawatirkan kenyataan bahwa anak-anak kita jarang yang bermain seperti itu," kata Gladys sedih.

"Well, mereka sepertinya sudah cukup bahagia dengan adanya handphone, Tablet, dan internet. Oh iya, jangan lupakan mall," kata Diana sarkastis.

"Tidak semua seperti itu, Di. Tapi ironis, ya? hal yang kita impi-impikan dulu sekarang mudah sekali diakses, bahkan oleh anak-anak,"

"Bahagia memang sederhana, dulu, sekarang pun masih. Tapi jaman sudah tidak sederhana lagi, Dis,"

Gladys menghirup tehnya dalam hening, menatap mentari senja yang mulai bersembunyi, deru angin sepoi-sepoi seakan mengantar suara tawa ceria anak-anak yang sedang bermain. Suara tawa yang selalu hidup dalam kenangan masa kecilnya, berharap bisa mendengarnya lagi suatu kali.

0 comments: